Suku Bugis
To Ugi’ atau yang dikenal di telinga kita dengan sebutan Suku
Bugis, adalah kelompok etnik yang berasal dari Sulawesi Selatan. Sejak abad
ke-15 pendatang dari Melayu dan Minangkabau merantau sebagai tenaga kerja dan
pedagang yang sekarang di kategorikan juga sebagai suku Bugis. Namun bukan
hanya di Sulawesi Selatan, suku Bugis juga bisa kita jumpai di negara tetangga,
Malaysia dan Singapura misalnya. Menyebar pula di seluruh wilayah provinsi
Indonesia seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Papua, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Jambi, Riau,
dan Kepulauan Riau.
Kebudayaan Suku Bugis
Budaya–budaya Bugis sesungguhnya yang diterapkan dalam
kehidupan sehari–hari mengajarkan hal–hal yang berhubungan dengan akhlak
sesama, seperti mengucapkan tabe’ (permisi) sambil berbungkuk setengah badan
bila lewat di depan sekumpulan orang-orang tua yang sedang bercerita,
mengucapkan iyé’ (dalam bahasa Jawa nggih), jika menjawab pertanyaan sebelum
mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang yang lebih tua serta
menyayangi yang muda. Inilah di antaranya ajaran–ajaran suku Bugis sesungguhnya
yang termuat dalam Lontara‘ yang harus direalisasikan dalam kehidupan
sehari–hari oleh masyarakat Bugis.
Suku Bugis juga kental dengan adat yang khas: adat
pernikahan, adat bertamu, adat bangun rumah, adat bertani, prinsip hidup, dan
sebagainya. Meskipun sedikit banyaknya telah tercampur dengan ajaran Islam.
Adat sendiri yang dimiliki Suku Bugis menandakan satu hal: Suku Bugis pada
masanya memiliki peradaban yang luar biasa hebatnya. Nenek moyang Suku Bugis
adalah orang-orang pintar yang mampu menciptakan dan mewariskan ilmu
pengetahuan.
Umumnya rumah orang
Bugis berbentuk rumah panggung dari kayu berbentuk segi empat panjang dengan
tiang-tiang yang tinggi memikul lantai dan atap. Konstruksi rumah dibuat secara
lepas-pasang (knock down) sehingga bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat
lain.
Orang Bugis memandang rumah tidak hanya sekedar tempat
tinggal tetapi juga sebagai ruang pusat siklus kehidupan. Tempat manusia
dilahirkan, dibesarkan, kawin, dan meninggal. Karena itu, membangun rumah
haruslah didasarkan tradisi dan kepercayaan yang diwarisi secara turun temurun
dari leluhur. Konstruksi berbentuk panggung yang terdiri atas tingkat atas,
tengah, dan bawah diuraikan yaitu :
Tingkat atas digunakan untuk menyimpan padi dan benda-benda
pusaka. Tingkat tengah, yang digunakan sebagai tempat tinggal, terbagi atas
ruang-ruang untuk menerima tamu, tidur, makan dan dapur. Tingkat dasar yang
berada di lantai bawah diggunakan untuk menyimpan alat-alat pertanian, dan
kandang ternak. Rumah tradisional bugis dapat juga digolongkan berdasarkan
status pemiliknya atau berdasarkan pelapisan sosial yang berlaku.
Letak Geografis dan
Mata Pencaharian
Wilayah Suku Bugis terletak di dataran rendah dan pesisir
pulau Sulawesi bagian selatan. Di dataran ini, mempunyai tanah yang cukup
subur, sehingga banyak masyarakat Bugis yang hidup sebagai petani. Selain
sebagai petani, SukuBugis juga di kenal sebagai masyarakat nelayan dan
pedagang. Meskipun mereka mempunyai tanah yang subur dan cocok untuk bercocok
tanam, namun sebagian besar masyarakat mereka adalah pelaut. Suku Bugis mencari
kehidupan dan mempertahankan hidup dari laut.Tidak sedikit masyarakat Bugis
yang merantau sampai ke seluruh negeri dengan menggunakan Perahu Pinisi-nya.
Bahkan, kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas
hingga luar negeri, di antara wilayah perantauan mereka, seperti Malaysia,
Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Suku
Bugis memang terkenal sebagai suku yang hidup merantau. Beberapa dari mereka,
lebih suka berkeliaran untuk berdagang dan mencoba melangsungkan hidup di tanah
orang lain. Hal ini juga disebabkan oleh faktor sejarah orang Bugis itu sendiri
di masa lalu.
Bahasa Suku Bugis
Dalam kesehariannya hingga saat ini orang bugis masih
menggunakan bahasa “Ugi” yang merupakan bahasa keluarga besar dari bahasa Austronesia
Barat. Selain itu, orang Bugis juga memilikis aksara sendiri yakni aksara
lontara yang berasal dari huruf Sansekerta. Bahkan uniknya, logat bahasa Bugis
berbeda di setiap wilayahnya; ada yang kasar dan ada yang halus. Bahasa, yang
dimiliki Suku Bugis menandakan satu hal: Suku Bugis pada masanya memiliki
peradaban yang luar biasa hebatnya. Nenek moyang Suku Bugis adalah orang-orang
pintar yang mampu menciptakan dan mewariskan ilmu pengetahuan.
Upacara Mappalili
Suku Bugis
Mappalili (Bugis) / Appalili (Makassar) berasal dari kata
palili yang memiliki makna untuk menjaga tanaman padi dari sesuatu yang akan
mengganggu atau menghancurkannya. Mappalili atau Appalili adalah ritual
turun-temurun yang dipegang oleh masyarakat Sulawesi Selatan, masyarakat dari
Kabupaten Pangkep terutama Mappalili adalah bagian dari budaya yang sudah
diselenggarakan sejak beberapa tahun lalu.
Mappalili adalah tanda untuk mulai menanam padi. Tujuannya
adalah untuk daerah kosong yang akan ditanam, disalipuri (Bugis) / dilebbu
(Makassar) atau disimpan dari gangguan yang biasanya mengurangi produksi.
Mappalili memiliki sesuatu yang menggambarkan karakteristik
dari masyarakat Pangkep sepenuhnya. Pada pelaksanaan pembangunan upacara
Mappalili di setiap kecamatan masih menggunakan beberapa peralatan yang
digunakan sejak beberapa tahun lalu. Penggunaan peralatan harus melalui ritual
adat yang melibatkan leade kustom, sosialita, dan beberapa pemerintah. Oleh
karena itu, aktivitas upacara Mappalili di setiap kecamatan dapat berbeda
sesuai dengan waktu dan jenis ritual pelaksanaannya.
Mappalili di Balla Kalompoang biasanya digelar selama lima
hari, tetapi dengan pertimbangan waktu dan biaya, sehingga diselenggarakan
selama dua hari hanya tanpa mengurangi nilai dan makna budaya.
Setelah doa Subuh, penyusunan Mappalili dilakukan dengan
Pinati (sanro/ perias pengantin) dengan didampingi oleh drum tradisional untuk
mengumpulkan personil Palili yang memiliki anggota 41 orang. Para rombongan dari Palili pergi ke sawah Kalompoang di
Pacce'lang. Rombongan dipimpin oleh Pinati Male. Urutan Mappalili rombongan
sebagai berikut:
1.
Bendera
Kerajaan Siang dengan lainnya 4 bendera, ada :
a. Bendera hitam - (labolong) anrong
appaka.
b. Bendera merah - untuk Barani
risibatua.
c. Bendera kuning - Bendera rilesang.
d. Bendera hijau - Pabbicara risengkae
bendera.
2.
6
tombak
3.
Beras
4.
Pinati
5.
1
set alat pabrik
6.
2
kerbau
7.
Masyarakat
Setelah dari lokasi Palili, para rombongan dari Palili makan
bersama dengan songkolo porsi Palopo na. Ada dua Pinati, satu Pinati Pria dan
yang lainnya Pinati Wanita. Pinati dipilih berdasarkan diskusi masyarakat.
Mereka memiliki tugas yang berbeda, Pinati Pria mengelola penyusunan dan
pelaksanaan Mappalili, dan Pinati Wanita mengelola konsumsi.
Setelah acara Mappalili digelar oleh pihak bissu Kerajaan,
masyarakat setempat barulah menanam padi di
sawah. Hal itu sudah turun-temurun dilakukan. Masyarakat meyakini itu.
Kalau ada yang melanggar atau mendahului menanam padi sebelum acara adat
digelar, biasanya mendapat bala atau tanamannya puso.
Acara adat Mappalili yang digelar selama tiga hari, diawali
dengan acara "atteddu arajang" atau membangunkan alat pembajak yang
bertuah, kemudian "arajang ri'alu" atau mengarak pembajak sawah
keliling kampung diiringi musik tradisional dan pemangku adat yang menggunakan
baju adat.
Puncak acara pada hari ketiga yakni "majjori" atau
memulai membajak sawah peninggalan Kerajaan Segeri. Acara tersebut tak kalah
meriahnya dengan dua acara sebelumnya. Karena setelah prosesi majjori itu
dilakukan, diikuti acara siram-siraman air sebagai bentuk suka-cita oleh
pemangku adat dan masyarakat setempat.
Matteddu arajang alias membangunnya benda-benda kerajaan
bukan perkara muda. Ada ritual dan harus dilakukan orang-orang tertentu.
Presiden sekalipun, tidak bisa membangunkan arajang. Yang bisa membangunkan
hanya Puang Matoa. Waktu yang dipilih untuk mattedu arajang juga melalui
perhitungan bugis yakni 9 ompo, 9 temmate dan parallawali atau seimbang antara
yang lewat dan datang. Usai mattedu dilanjutkan dengan mappelesso atau
membaringkan arajang. Setelah itu, proses selanjutnya adalah mallekke wae dan
labu lalle yakni mengambil air di sungai dan batang pisang lalu dibawa ke
arajang di rumah adat. Batang pisang yang diambil harus utuh. "Maknanya ya
untuk memandikan arajang." Setelah itu akan dicari waktu tepat untuk
menurunkan arajang ke sawah.
Saat mengarak arajang ke sawah ini sepertinya merupakan momen
puncak karena diusung dan diantar 25 orang yang terdiri atas pembawa arajang
dan pembawa bendera. Arajang akan diarak dalam proses hikmat dan sakral dari
rumah adat ke Segeri, singgah di Sungai Segeri, ke Pasar Segeri lalu dibawa
kembali ke tempat peraduannya bermula. Saat arajang diarak itulah pantangan
untuk melintas atau lewat di depan arak-arakan. Zaman dulu, orang yang melintas
di depan langsung mati. Kalau sekarang, orangnya langsung jatuh sakit.
Kesenian Suku Bugis
1.
Tari
Paduppa Bosara
Tari Padupa Bosara merupakan sebuah
tarian yang mengambarkan bahwa orang bugis kedatangan atau dapat dikatakan
sebagai tari selamat datang dari Suku Bugis. Orang Bugis jika kedatangan tamu
senantisa menghidangkan bosara sebagai tanda kehormatan.
2.
Tari
Pakarena
Tari Pakarena Merupakan tarian khas
Sulawesi Selatan, Nama Pakarena sendiri di ambil dari bahasa setempat, yaitu
karena yang artinya main. Tarian ini pada awalnya hanya dipertunjukkan di
istana kerajaan, namun dalam perkembangannya tari Pakarena lebih memasyarakat
di kalangan rakyat.
Tari Pakarena memberikan kesan
kelembutan. Hal tersebut mencerminkan watak perempuan yang lembut, sopan,
setia, patuh dan hormat pada laki-laki terutama pada suami. Sepanjang
Pertunjukan Tari Pakarena selalu diiringi dengan gerakan lembut para penarinya
sehingga menyulitkan bagi masyarakat awam untuk mengadakan babak pada tarian
tersebut.
3.
Tari
Ma’badong
Tari Ma’badong hanya diadakan pada
saat upacara kematian. Penari membuat lingkaran dengan mengaitkan jari-jari
kelingking, Penarinya bisa pria atau bisa wanita. Mereka biasanya berpakaian
serba hitam, namun terkadang memakai pakaian bebas karena tarian ini terbuka
untuk umum.
Tarian yang hanya diadakan pada
upacara kematian ini hanya dilakukan dengan gerakan langkah yang silih berganti
sambil melangtungkan lagu kadong badong. Lagu tersebut syairnya berisikan
riwayat manusia malai dari lahir hingga mati, agar arwah si Mati diterima di
negeri arwah atau alam baka. Tarian Badong bisanya belansung berjam-jam, sering
juga berlansung semalam suntuk.
Tarian Ma’badong bisanya dibawakan
hanya pada upacara pemakaman yang lamanya tiga hari tiga malam khusus bagi kaum
bangsawan di daerah Tana Toraja Sulawesi Selatan.
4.
Tarian
Pa’gellu
Tari Pagellu merupakan salah satu
tarian dari Tana Toraja yang di pentaskan pada acara pesta tambu Tuka, Tarian
ini juga dapat ditampilkan untuk menyambut patriot atau pahlawan yang kembali
dari medan perang dengan membawa kegembiraan.
5.
Tari
Mabbissu
Tari Mabissu merupakan tarian bissu
yang biasanya dipertunjukkan ketika upacara adat. Para penarinya bissu (orang
yang kebal) yang selalu mempertontokan kesaktian mereka dalam bentuk tarian
komunitas bissu bisa kita jumpai didaerah pangkep sigeri sulawesi selatan.
6.
Tari Kipas
Tari kipas Merupakan tarian yang
memrtunjukan kemahiran para gadis dalam memainkan kipas dengan gemulai alunan
lagu.
7.
Gandrang
Bulo
Gandrang Bulo merupakan sebuah
pertunjukan musik dengan perpaduan tari dan tutur kata. Nama Gandrang bulo
sendiri diambil dari perpaduan dua suku kata, yaitu gendang dan bulo, dan jika
disatukan berarti gendang dari bambu. Ganrang Bulo merupakan pertunjukan
kesenian yang mengungkapkan kritikan dan dikemas dalam bentuk lelucon atau
banyolan.
8.
Kecapi
Kecapi Merupakan sala satu alat musik
petik tradisional Sulawesi Selatan, khusunya suku Bugis. Baik itu Bugis
Makassar ataupun Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau
diciptakan oleh seorang pelaut sehingga betuknya menyerupai perahu. Kecapi,
biasanya ditampilkan sebagai musik pengiring pada acara penjemputan para tamu
pada pesta perkawinan, hajatan, bahkan hiburan pada hari ulang tahun.
9.
Gendang
Gendang merupakan sala satu alat
musik perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar, yakni bulat panjang dan bundar
mirip seperti rebana.
10. Suling
Suling bambu terdiri dari tiga jenis,
yaitu:
§ Suling Panjang (Suling Lampe) yang
memiliki lima lubang nada dan jenis suling ini telah punah.
§ Suling calabai (siling ponco) suling
jenis ini sering dipadukan dengan biola, kecapi dan dimainkan bersama penyanyi.
§ Suling dupa Samping (musik bambu)
musik bambu masih sangat terpelihara biasanya digunakan pada acara karnaval
atau acara penjemputan tamu.
Sistem Sosial
Sistem Politik Suku
Bugis Makassar
Orang Bugis-Makassar lebih banyak mendiami Kabupaten Maros
dan Kabupaten Pangkajene. Desa-desa di kabupaten tersebut merupakan
kesatuan-kesatuan administratif, gabungan sejumlah kampung lama, yang disebut
desa-desa gaya baru. Sebuah kampung biasanya terdiri atas sejumlah keluarga
yang mendiami antara 10 sampai 20 buah rumah. Rumah-rumah itu biasanya terletak
berderet menghadap ke selatan atau barat. Apabila ada sungai, diusahakan
membangun rumah membelakangi sungai.Pusat kampung lama ditandai dengan sebuah
pohon beringin besar yang dianggap sebagai tempat keramat (possi tana).
Sebuah kampung lama dipimpin oleh seorang kepala kampung
(matowa, jannang, lompo’, toddo’). Kepala kampung dibantu oleh sariang dan
parennung. Gabungan kampung dalam struktur asli disebut wanua, pa’rasangan atau
bori.’ Pemimpin wanua oleh orang Bugis dinamakan arung palili atau sullewatang,
orang Makassar menyebutnya gallarang atau karaeng. Dalam struktur pemerintahan
sekarang wanua sama dengan kecamatan.
Lapisan masyarakat Bugis-Makassar dari zaman sebelum kolonial
Belanda terdiri atas:
1.
Anakarung
atau anak’kareang, yaitu lapisan kaum kerabat raja-raja.
2.
To-maradeka,
yaitu lapisan orang merdeka.
3.
Ata,
yaitu lapisan budak.
Pada permulaan abad ke-20 lapisan ata mulai hilang karena
desakan agama, begitu juga anak’karung atau to-maradeka. Gelar anakarung
seperti Karaenta, Puatta, Andi, dan Daeng, walau masih dipakai, tidak mempunyai
arti lagi, sudah digantikan oleh tinggi rendahnya pangkat dalam sistem
birokrasi kepegawaian.
Sistem Kekerabatan
Kebudayaan Suku Bugis Makassar
Perkawinan ideal menurut adat Bugis Makassar adalah:
1.
Assialang
marola, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat kesatu, baik dari
pihak ayah maupun dari pihak ibu.
2.
Assialana
memang, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat kedua, baik dari pihak
ayah maupun dari pihak ibu.
3.
Ripanddeppe’
mabelae, yaitu perkawinan antara saudara sepupu sederajat ketiga, baik dari
pihak ayah maupun dari pihak ibu.
Perkawinan tersebut, walaupun ideal, tidak diwajibkan
sehingga banyak pemuda yang menikah dengan gadis-gadis yang bukan sepupunya.
Perkawinan yang dilarang atau sumbang (salimara’) adalah
perkawinan antara:
1.
Anak
dengan ibu atau ayah.
2.
Saudara
sekandung.
3.
Menantu
dan mertua.
4.
Paman
atau bibi dengan kemenakannya.
5.
Kakek
atau nenek dengan cucu.
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sebelum perkawinan
adalah:
1.
Mappuce-puce,
yaitu kunjungan dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk
mengadakan peminangan.
2.
Massuro,
yaitu kunjungan dari utusan pihak keluarga laki-laki kepada keluarga si gadis
untuk membicarakan waktu pernikahan, jenis sunreng (mas kawin), dan sebagainya.
3.
Maduppa,
yaitu pemberitahuan kepada seluruh kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan
datang.
Referensi:
0 komentar:
Posting Komentar