Rabu, 15 Juni 2016

Analisis Puisi Balada ibu yang dibunuh (WS. Rendra)

Balada Ibu yang Dibunuh

Ibu musang di lindung pohon tua meliang
Bayinya dua ditinggal mati lakinya.

Bualan sabit terkait malam memberita datangnya
Waktu makan bayi-bayinya mungil sayang.

Matanya berkata pamitan, bertolaklah ia
Dirasukinya dusun-dusun, semak-semak, taruhan harian atas nyawa.

Burung kolik menyanyikan berita panas dendam warga desa
Menggetari ujung bulu-bulunya tapi dikibaskannya juga.

Membubung juga nyanyi kolik sampai mati tiba-tiba
Oleh lengking pekik yang lebih menggigitkan pucuk-pucuk daun
Tertangkap musang betina dibunuh esok harinya.

Tiada pulang ia yang mesti rampas rejeki hariannya
Ibu yang baik, matinya baik, pada bangkainya gugur pula dedaun tua.

Tiada tahu akan meraplah kolik meratap juga
Dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin tenggara

Lalu satu ketika di pohon tua meliang
Matilah anak-anak musang, mati dua-duanya.

Dan jalannya semua peristiwa
Tanpa dukungan satu dosa, tanpa.


Analisis:
W.S Rendra adalah satrawan Indonesia yang sebagian puisi-puisi karyanya mudah sekali dipahami pembacanya. Sebut saja puisi karyanya berjudul Balada Ibu Yang Dibunuh. Puisi ini menceritakan tentang induk musang yang memperjuangkan hidup kedua anaknya hingga ia mati dibunuh warga.

Balada Ibu Yang Dibunuh menggunakan bahasa konkrit yang komunikatif, seperti pada larik “Ibu musang di lindung pohon tua meliang ; Bayinya dua ditinggal mati lakinya”. Namun selain bahasa konkrit , Rendra juga menggunakan bahasa-bahasa figuratif. Ini ditunjukkan pada larik “Matanya berkata pamitan, bertolaklah ia ; Burung kolik menyanyikan berita panas dendam warga desa ; Dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin tenggara”.

Puisi Balada Ibu Yang Dibunuh bertema tentang kehidupan dan pengorbanan seorang ibu. Suasana terharu karena melihat seprang ibu yang berkorban untuk anaknya sampai mati digambarkan olh W.S. Rendra dengan pilihan kata yang sangat apik. Nada prihatin juga dapat dirasakan dalam puisi ini. Selain pilihan kata, Rendra menggunakan simbol di dalam puisi ini, seperti pada larik “Bulan sabit terkait malam memberita datangnya (bulan sabit menggambarkan tentang waktu malam) ; Dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin tenggara (bertanya apada angin tenggara disini menggambarkan tak ada jawaban).

Dalam puisi Balada Ibu Yang Dibunuh ini, Rendra mencoba member sebuah amanat yaitu Tumbuhkan rasa kasih saying pada siapapun. Pencitraan-pencitraan yang terdapat dalam puisi ini sangat bermacam-macam, antara lain pencitraan perasaan yang ditunjukkan pada larik “Dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin tenggara”, pencitraan visual (penglihatan) pada larik “Ibu musang dilindung pohon tua meliang ; Bayinya dua ditinggal mati lakinya”, dan pencitraan pendengaran seperti pada larik “Membubung juga nyanyi kolik sampai mati tiba-tiba”
Sedangkan puisi yang berjudul Sajak Putih karya Chairil Anwar, hamper seluruh pilihan katanya menggunakan kata kiasan (bahasa figuratif). Memang, sebagian besar puisi-puisi karya Chairil Anwar menggunakan bahasa figuratif daripada bahasa keseharian. Puisi Sajak Putih ini menceritakan tentang kesetiaan seseorang terhadap pasangannya hingga ajal menjemput mreka.
Jika puisi Balada Ibu Yang Dibunuh karya W.S. Rendra mengangkat tema tentang kehidupan dan pengorbanan seorang induk musang, lain halnya dengan Sajak Putih karya Chairil Anwar. Puisi karya Chairil Anwar ini bertema cinta dan kesetiaan. Suasana yang tergambar pun juga jauh berbeda, karena dalam puisi Sajak Putih suasananya senang dan bahagia yang bernada kasmaran dan jatuh cinta.

Dalam puisi tersebut, Chairil juga menggunakan banyak symbol-simbol, seperti misalnya pada larik “Di hitam matamu kembang mawar dan melati (melati menggambarkan tentang kesucian) ; Kau depanku bertudung sutra senja (sutra menggambarkan keitimewaan sang pasangan) ; Bersandar pada tari warna pelangi (pelangi disini menggambarkan keceriaan).

Sama seperti Balada Ibu Yang Dibunuh Sajak Putih menggunakan beragam pencitraan, antara lain pencitraan penciuman yang ditunjukkan pada larik “Harum rambutmu mengalun bergelut senda”, pencitraan perasaan yang ditunjukkan larik “Antara kita Mati datang tidak membelah”, dan pencitraan visual seperti pada larik “Kau depanku bertudung sutra senja ; Di hitam matamu kembang mawar dan melati”.

Puisi Sajak Putih memiliki amanat, Setialah pada satu pasangan sampai mati.
Walau bagaimanapun, kedua puisi tersebut memiliki makana yang sangat mendalam meski ditemukan perbedaan-perbedaan di dalamnya. Karya-karya W.S. Rendra dan Chairil Anwar akan tetap memukau para pembacanya.

0 komentar:

Posting Komentar