Balada Ibu yang Dibunuh
Ibu musang di lindung pohon tua meliang
Bayinya dua ditinggal mati lakinya.
Bualan sabit terkait malam memberita datangnya
Waktu makan bayi-bayinya mungil sayang.
Matanya berkata pamitan, bertolaklah ia
Dirasukinya dusun-dusun, semak-semak, taruhan harian atas
nyawa.
Burung kolik menyanyikan berita panas dendam warga desa
Menggetari ujung bulu-bulunya tapi dikibaskannya juga.
Membubung juga nyanyi kolik sampai mati tiba-tiba
Oleh lengking pekik yang lebih menggigitkan pucuk-pucuk daun
Tertangkap musang betina dibunuh esok harinya.
Tiada pulang ia yang mesti rampas rejeki hariannya
Ibu yang baik, matinya baik, pada bangkainya gugur pula
dedaun tua.
Tiada tahu akan meraplah kolik meratap juga
Dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin tenggara
Lalu satu ketika di pohon tua meliang
Matilah anak-anak musang, mati dua-duanya.
Dan jalannya semua peristiwa
Tanpa dukungan satu dosa, tanpa.
Analisis:
W.S Rendra adalah satrawan Indonesia yang sebagian
puisi-puisi karyanya mudah sekali dipahami pembacanya. Sebut saja puisi
karyanya berjudul Balada Ibu Yang Dibunuh. Puisi ini menceritakan tentang induk
musang yang memperjuangkan hidup kedua anaknya hingga ia mati dibunuh warga.
Balada
Ibu Yang Dibunuh menggunakan bahasa konkrit yang komunikatif, seperti pada
larik “Ibu musang di lindung pohon tua meliang ; Bayinya dua ditinggal mati
lakinya”. Namun selain bahasa konkrit , Rendra juga menggunakan bahasa-bahasa
figuratif. Ini ditunjukkan pada larik “Matanya berkata pamitan, bertolaklah ia
; Burung kolik menyanyikan berita panas dendam warga desa ; Dan bayi-bayinya
bertanya akan bunda pada angin tenggara”.
Puisi
Balada Ibu Yang Dibunuh bertema tentang kehidupan dan pengorbanan seorang ibu.
Suasana terharu karena melihat seprang ibu yang berkorban untuk anaknya sampai
mati digambarkan olh W.S. Rendra dengan pilihan kata yang sangat apik. Nada
prihatin juga dapat dirasakan dalam puisi ini. Selain pilihan kata, Rendra
menggunakan simbol di dalam puisi ini, seperti pada larik “Bulan sabit terkait
malam memberita datangnya (bulan sabit menggambarkan tentang waktu malam) ; Dan
bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin tenggara (bertanya apada angin
tenggara disini menggambarkan tak ada jawaban).
Dalam
puisi Balada Ibu Yang Dibunuh ini, Rendra mencoba member sebuah amanat yaitu
Tumbuhkan rasa kasih saying pada siapapun. Pencitraan-pencitraan yang terdapat
dalam puisi ini sangat bermacam-macam, antara lain pencitraan perasaan yang
ditunjukkan pada larik “Dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin
tenggara”, pencitraan visual (penglihatan) pada larik “Ibu musang dilindung
pohon tua meliang ; Bayinya dua ditinggal mati lakinya”, dan pencitraan
pendengaran seperti pada larik “Membubung juga nyanyi kolik sampai mati
tiba-tiba”
Sedangkan puisi yang berjudul Sajak Putih karya Chairil
Anwar, hamper seluruh pilihan katanya menggunakan kata kiasan (bahasa
figuratif). Memang, sebagian besar puisi-puisi karya Chairil Anwar menggunakan
bahasa figuratif daripada bahasa keseharian. Puisi Sajak Putih ini menceritakan
tentang kesetiaan seseorang terhadap pasangannya hingga ajal menjemput mreka.
Jika puisi Balada Ibu Yang Dibunuh karya W.S. Rendra
mengangkat tema tentang kehidupan dan pengorbanan seorang induk musang, lain
halnya dengan Sajak Putih karya Chairil Anwar. Puisi karya Chairil Anwar ini
bertema cinta dan kesetiaan. Suasana yang tergambar pun juga jauh berbeda,
karena dalam puisi Sajak Putih suasananya senang dan bahagia yang bernada
kasmaran dan jatuh cinta.
Dalam puisi tersebut, Chairil juga menggunakan banyak
symbol-simbol, seperti misalnya pada larik “Di hitam matamu kembang mawar dan
melati (melati menggambarkan tentang kesucian) ; Kau depanku bertudung sutra
senja (sutra menggambarkan keitimewaan sang pasangan) ; Bersandar pada tari
warna pelangi (pelangi disini menggambarkan keceriaan).
Sama seperti Balada Ibu Yang Dibunuh Sajak Putih menggunakan
beragam pencitraan, antara lain pencitraan penciuman yang ditunjukkan pada
larik “Harum rambutmu mengalun bergelut senda”, pencitraan perasaan yang
ditunjukkan larik “Antara kita Mati datang tidak membelah”, dan pencitraan
visual seperti pada larik “Kau depanku bertudung sutra senja ; Di hitam matamu
kembang mawar dan melati”.
Puisi Sajak Putih memiliki amanat, Setialah pada satu
pasangan sampai mati.
Walau bagaimanapun, kedua puisi tersebut memiliki makana
yang sangat mendalam meski ditemukan perbedaan-perbedaan di dalamnya.
Karya-karya W.S. Rendra dan Chairil Anwar akan tetap memukau para pembacanya.
0 komentar:
Posting Komentar