Rabu, 15 Juni 2016

Desa Legetang yang pernah hilang

Legetang yang hilang
Kisah ini sudah lama, tetapi banyak yang belum mengetahuinya. Kisah ini hendaknya menjadi ibroh (Pelajaran), bahwa apabila suatu daerah bermaksiat semua, bisa jadi Allah akan mengazabnya secara langsung.

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ فَإِذَا هِيَ
تَمُورُ

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang dilangit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS Al Mulk 67: 16).
Dukuh Legetang adalah sebuah daerah di lembah pegunungan Dieng, sekitar 2 km ke utara dari kompleks pariwisata Dieng Kabupaten Banjarnegara. Dahulunya masyarakat dukuh Legetang adalah petani-petani yang sukses sehingga kaya. Berbagai kesuksesan duniawi yang berhubungan dengan pertanian menghiasi dukuh Legetang. Misalnya apabila di daerah lain tidak panen tetapi mereka panen berlimpah. Kualitas buah/sayur yang dihasilkan juga lebih dari yang lain. Namun barangkali ini merupakan “istidraj” (disesatkan Allah dengan cara diberi rizqi yang banyak dan orang tersebut akhirnya makin tenggelam dalam kesesatan).

Masyarakat dukuh Legetang umumnya ahli maksiat dan bukan ahli bersyukur. Perjudian disana merajalela, begitu pula minum-minuman keras (yang sangat cocok untuk daerah dingin). Tiap malam mereka mengadakan pentas Lengger (sebuah kesenian yang dibawakan oleh para penari perempuan, yang sering berujung kepada perzinaan). Anak yang kawin sama ibunya dan beragam kemaksiatan lain sudah sedemikian parah di dukuh Legetang.

Pada suatu malam turun hujan yang lebat dan masyarakat Legetang sedang tenggelam dalam kemaksiatan. Tengah malam hujan reda. Tiba-tiba terdengar suara “buum”, seperti suara benda yang teramat berat berjatuhan. Pagi harinya masyarakat disekitar dukuh Legetang yang penasaran dengan suara yang amat keras itu menyaksikan bahwa Gunung Pengamun-amun sudah terbelah (bahasa jawanya: tompal), dan belahannya itu ditimbunkan ke dukuh Legetang.

Dukuh Legetang yang tadinya berupa lembah itu bukan hanya rata dengan tanah, tetapi menjadi sebuah gundukan tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya mati. Gegerlah kawasan dieng… Seandainya gunung Pengamun-amun sekedar longsor, maka longsoran itu hanya akan menimpa dibawahnya. Akan tetapi kejadian ini bukan longsornya gunung.
Antara dukuh Legetang dan gunung Pengamun-amun terdapat sungai dan jurang, yang sampai sekarang masih ada. Jadi kesimpulannya, potongan gunung itu terangkat dan jatuh menimpa dukuh Legetang. Siapa yang mampu mengangkat separo gunung itu kalau bukan Allah Tabaroka wata’ala?

Kini diatas bukit bekas dukuh Legetang dibuat tugu peringatan. Ditugu tersebut ditulis dengan plat logam:

“TUGU PERINGATAN ATAS TEWASNJA 332 ORANG PENDUDUK DUKUH LEGETANG SERTA 19 ORANG TAMU DARI LAIN-LAIN DESA SEBAGAI AKIBAT LONGSORNJA GUNUNG PENGAMUN-AMUN PADA TG. 16/17-4-1955”

Allah Maha Besar.
Jika Anda dari daerah Dieng menuju ke arah (bekas) dukuh Legatang maka akan melewati sebuah desa bernama Pakisan. Sepanjang jalan itu Anda mungkin akan heran melihat wanita-wanitanya banyak yang memakai jilbab panjang dan atau cadar. Memang sejak dulu masyarakat Pakisan itu masyarakat yang agamis, bertolak belakang dengan dukuh Legetang, tetangga desanya yang penuh dengan kemaksiatan. Ketika kajian triwulan Forum Komunikasi Ahlussunnah wal Jamaah Kabupaten Banjarnegara bertempat di Pakisan, maka masyarakat Pakisan berduyun-duyun ke masjid untuk mendengarkan kajian dari Ustadz Muhammad Umar As Sewed. Ya, hampir semua masyarakat Pakisan aktif mengikuti kajian.
Wallahu a’lam bish shawab.

Keterangan dari Saksi Mata:
Al-Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray hafidzahullah berkata:
“Alhamdulillah, akhirnya kesampaian juga keinginan ana utk mengunjungi Desa Ahlus Sunnah Dusun Kepakisan dan melihat Desa yang musnah Dusun Lagetan.
Insya Allah banyak cerita hikmah yang akan ana bagi. Diantaranya yang bisa ana sampaikan saat ini bahwa musnahnya Dusun Lagetan yang dihuni oleh para pelaku syirik dan maksiat adalah benar adanya.
Pak Thoyib hafizhahullah [67 thn], sesepuh Ahlus Sunnah, ketika itu berumur 11 tahun menceritakan dengan detail peristiwa tersebut.
Diantara kisah yang beliau sampaikan, bahwa antara Dusun Lagetan dan Gunung yang jatuh menimpa mereka terdapat sebuah lembah, namun anehnya tanah dari longsornya gunung tersebut tidak ada yang jatuh di lembah.
Dan lebih dahsyat lagi, di lembah itu ada sebuah batu besar yang DISEMBAH oleh penghuni dusun. Batu tersebut terangkat ke atas dan menggelinding di Dusun Lagetan, lalu menghancurkan semua yang ia lewati termasuk manusia.
Batu besar tersebut berhenti di ujung dusun dan di belakangnya penuh mayat bergelimpangan. Dan ternyata, kejadian seperti ini bukan hanya sekali. Nantikan kisah selengkapnya, insya Allah ta’ala jika ada waktu luang akan ana tulis lebih detail.
Alhamdulillah ta’lim dihadiri ratusan Ikhwan dan Akhwat dari pegunungan Dieng dan sekitarnya. Agenda besok insya Allah setelah ta’lim ba’da shubuh, ana akan diajak ke Telaga Warna dan Agrowisata, setelah itu melihat desa yang musnah dan batu besar yang membinasakan penghuninya.
Nantikan juga insya Allah kisah “Amirul Mukminin” alias Kepala Desa ini rahimahullah dan perannya yang sangat besar dalam membina masyarakatnya menjadi masyarakat Islami tanpa harus merampas kekuasaan dan memberontak kepada penguasa di atasnya.
Dengan taufiq dari Allah ta’ala pada akhirnya beliau dipertemukan dgn Asatidzah Salafiyin sehingga tauhid dan sunnah, serta adab-adab islami semakin tersebar. Insya Allah di desa ini kita tidak akan melihat wanita membuka aurat di luar rumah.
Hikmah besar yang bisa dipetik adalah pentingnya mendakwahi penguasa dan mendoakan mereka, bukan malah didemo, disebarkan aib-aibnya, dilaknat atau didoakan kejelekan, sebab -seperti kata Salaf- baiknya penguasa akan sangat berpengaruh bagi rakyatnya.”


Referensi:

Analisis Puisi Balada ibu yang dibunuh (WS. Rendra)

Balada Ibu yang Dibunuh

Ibu musang di lindung pohon tua meliang
Bayinya dua ditinggal mati lakinya.

Bualan sabit terkait malam memberita datangnya
Waktu makan bayi-bayinya mungil sayang.

Matanya berkata pamitan, bertolaklah ia
Dirasukinya dusun-dusun, semak-semak, taruhan harian atas nyawa.

Burung kolik menyanyikan berita panas dendam warga desa
Menggetari ujung bulu-bulunya tapi dikibaskannya juga.

Membubung juga nyanyi kolik sampai mati tiba-tiba
Oleh lengking pekik yang lebih menggigitkan pucuk-pucuk daun
Tertangkap musang betina dibunuh esok harinya.

Tiada pulang ia yang mesti rampas rejeki hariannya
Ibu yang baik, matinya baik, pada bangkainya gugur pula dedaun tua.

Tiada tahu akan meraplah kolik meratap juga
Dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin tenggara

Lalu satu ketika di pohon tua meliang
Matilah anak-anak musang, mati dua-duanya.

Dan jalannya semua peristiwa
Tanpa dukungan satu dosa, tanpa.


Analisis:
W.S Rendra adalah satrawan Indonesia yang sebagian puisi-puisi karyanya mudah sekali dipahami pembacanya. Sebut saja puisi karyanya berjudul Balada Ibu Yang Dibunuh. Puisi ini menceritakan tentang induk musang yang memperjuangkan hidup kedua anaknya hingga ia mati dibunuh warga.

Balada Ibu Yang Dibunuh menggunakan bahasa konkrit yang komunikatif, seperti pada larik “Ibu musang di lindung pohon tua meliang ; Bayinya dua ditinggal mati lakinya”. Namun selain bahasa konkrit , Rendra juga menggunakan bahasa-bahasa figuratif. Ini ditunjukkan pada larik “Matanya berkata pamitan, bertolaklah ia ; Burung kolik menyanyikan berita panas dendam warga desa ; Dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin tenggara”.

Puisi Balada Ibu Yang Dibunuh bertema tentang kehidupan dan pengorbanan seorang ibu. Suasana terharu karena melihat seprang ibu yang berkorban untuk anaknya sampai mati digambarkan olh W.S. Rendra dengan pilihan kata yang sangat apik. Nada prihatin juga dapat dirasakan dalam puisi ini. Selain pilihan kata, Rendra menggunakan simbol di dalam puisi ini, seperti pada larik “Bulan sabit terkait malam memberita datangnya (bulan sabit menggambarkan tentang waktu malam) ; Dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin tenggara (bertanya apada angin tenggara disini menggambarkan tak ada jawaban).

Dalam puisi Balada Ibu Yang Dibunuh ini, Rendra mencoba member sebuah amanat yaitu Tumbuhkan rasa kasih saying pada siapapun. Pencitraan-pencitraan yang terdapat dalam puisi ini sangat bermacam-macam, antara lain pencitraan perasaan yang ditunjukkan pada larik “Dan bayi-bayinya bertanya akan bunda pada angin tenggara”, pencitraan visual (penglihatan) pada larik “Ibu musang dilindung pohon tua meliang ; Bayinya dua ditinggal mati lakinya”, dan pencitraan pendengaran seperti pada larik “Membubung juga nyanyi kolik sampai mati tiba-tiba”
Sedangkan puisi yang berjudul Sajak Putih karya Chairil Anwar, hamper seluruh pilihan katanya menggunakan kata kiasan (bahasa figuratif). Memang, sebagian besar puisi-puisi karya Chairil Anwar menggunakan bahasa figuratif daripada bahasa keseharian. Puisi Sajak Putih ini menceritakan tentang kesetiaan seseorang terhadap pasangannya hingga ajal menjemput mreka.
Jika puisi Balada Ibu Yang Dibunuh karya W.S. Rendra mengangkat tema tentang kehidupan dan pengorbanan seorang induk musang, lain halnya dengan Sajak Putih karya Chairil Anwar. Puisi karya Chairil Anwar ini bertema cinta dan kesetiaan. Suasana yang tergambar pun juga jauh berbeda, karena dalam puisi Sajak Putih suasananya senang dan bahagia yang bernada kasmaran dan jatuh cinta.

Dalam puisi tersebut, Chairil juga menggunakan banyak symbol-simbol, seperti misalnya pada larik “Di hitam matamu kembang mawar dan melati (melati menggambarkan tentang kesucian) ; Kau depanku bertudung sutra senja (sutra menggambarkan keitimewaan sang pasangan) ; Bersandar pada tari warna pelangi (pelangi disini menggambarkan keceriaan).

Sama seperti Balada Ibu Yang Dibunuh Sajak Putih menggunakan beragam pencitraan, antara lain pencitraan penciuman yang ditunjukkan pada larik “Harum rambutmu mengalun bergelut senda”, pencitraan perasaan yang ditunjukkan larik “Antara kita Mati datang tidak membelah”, dan pencitraan visual seperti pada larik “Kau depanku bertudung sutra senja ; Di hitam matamu kembang mawar dan melati”.

Puisi Sajak Putih memiliki amanat, Setialah pada satu pasangan sampai mati.
Walau bagaimanapun, kedua puisi tersebut memiliki makana yang sangat mendalam meski ditemukan perbedaan-perbedaan di dalamnya. Karya-karya W.S. Rendra dan Chairil Anwar akan tetap memukau para pembacanya.